Bulan Ramadhan, Momentum Menahan Diri dan Tertib Politik
Puasa Ramadhan sesungguhnya bulan dimana umat muslim diberikan waktu istimewa dari Tuhan Yang Maha Besar untuk merefleksikan diri dan menumbuhkan sisi spiritualnya.
Dalam bulan ini juga tidak hanya sekedar tidak makan dan minum dan menghindari hal-hal yang membatalkan puasa yang lain dari subuh hingga bedug maghrib. Namun lebih dari itu puasa bulan Ramadhan ternyata mengandung nilai-nilai yang luhur untuk kita dapat petik hikmahnya.
Nilai-nilai ini tentu saja tidak hanya berlaku bagi umat muslim saja, tapi nilai-nilai yang ada pada puasa di bulan Ramadhan ini juga sangat berkaitan dengan kehidupan antar sesama umat manusia di seluruh penghuni jagad raya ini.
Karena itu, puasa Ramadhan, pada dasarnya memberi pembelajaran untuk selalu melatih kesabaran, kejujuran hingga menahan diri dari berbagai hawa nafsu, aksi anarkis dan kekerasan atau terror lainnya.
Menyongsong tahun politik Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019, seharusnya kita yang menjalankan ibadah ini mempunyai kekuatan dan daya untuk belajar tertib politik dan mencegah berbagai upaya pembusukan politik (baca, Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay, 2011).
Makna Menahan Diri
Untuk mengingatkan kembali makna berpuasa sebenarnya, dapat dilihat dari beberapa sisi antara lain; merupakan ajang untuk beribadah sebaiknya baiknya, siap menyambut malam seribu bulan, memperbanyak amal dan menjadikannya sebagai bulan Al-Quran. Sedangkan bagian yang terpenting dan tak terpisahkan dalam bulan suci ini adalah usaha kita ‘menahan diri’ dari segala emosi dan menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tercela.
Menahan diri dari segala emosi bukan hanya sekedar menahan haus dan lapar, tetapi di bulan Suci ini, dianjurkan untuk juga menahan godaan diri dari segala bentuk emosi amarah, nafsu, dan emosi yang berlebih, yang dapat menyia-nyiakan kegiatan berpuasa. Maka dari itu, muslim dianjurkan untuk lebih banyak menghabiskan waktu untuk beribadah, tadarusan, meminta maaf pada orang lain dan memberikan maaf pada sesama.
Sedangkan menahan diri untuk tidak mencela, memfitnah, bergosip, dan melakukan tindakan kampanye hitam, apalagi kekerasan – yang sesungguhnya tersebut diatas tidak ada yang baik, apalagi saat Ramadhan tiba. Karena, Nabi Muhammad shalallahu’alaihi Wassalam pernah bersabda, “Hindarilah oleh kalian perbuatan ghibah. Karena ghibah lebih besar dosanya daripada zina. Seseorang terkadang berzina kemudian bertaubat kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan diterima taubatnya oleh Allah.
Sedang orang yang berbuat ghibah, dia tidak akan diampuni sampai orang yang dia ghibah-i memaafkannya”.(Ihya Ulumiddin, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, jilid 4, hal 411). Untuk itu, menahan diri adalah jembatan yang baik menuju tertib politik dan menghindari politik busuk.
Pengendalian dalam Politik
Pentingnya pengendalian diri dan nafsu duniawi ini tidak hanya berlaku pada seseorang atau sejumlah orang tertentu saja dalam bulan puasa Ramadhan, sebab pasalnya pada seorang politisi atau para pelakub politik termasuk tim sukses dan simpatisan mereka juga membutuhkan hal ini. Memang sebelumnya juga sudah dijelaskan bahwa pengendalian diri dan nafsu dalam wujud puasa ini akan berguna bagi mereka dalam hidupnya secara umum.
Nah, dari sinilah bagi mereka para politisi atau segenap masyarakat dalam kelompok yang melakukan interaksi politik di dalam menjalankan ibadah puasa seharusnya bisa mengambil hikmah dari bulan suci Ramadhan ini. Sebuah hikmah yang berupa pengendalian diri dan nafsu dari bulan puasa Ramadhan ini yang akan sangat membantu mereka untuk bisa meraih sukses dalam berkompetisi secara sehat, fair dan penuh kedamaian.
Bangun Tertib Politik dan Jangan Berpolitik Busuk
Filosofi menahan diri dan konsisten dalam melakukan puasa Ramadhan atau mungkin puasa-puasa yang lainnya maka sudah selayaknya menjadi orang yang mampu menahan diri dari apapun, terutama nafsu. Puasa memang menjadi sebuah metode atau cara yang diajarkan oleh agama untuk penganutnya agar bisa mengontrol dan mengendalikan diri dan nafsunya.
Terkait dengan dunia politik, khususnya dalam menyambut Pilkada serentak dan Pemilu 2019 mendatang, diharapkan berkualitas, demokratis, dan bermartabat, yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi proses dan hasil yang dicapai. Dari sisi proses, pemilihan ini dinilai berkualitas jika berlangsung secara demokratis, aman, tertib dan lancar serta jujur dan adil.
Jika di lihat dari sisi hasil, pemilihan yang berkualitas harus dapat menghasilkan pemimpin yang bersih, berintegritas, berkarakter dan mampu mensejahterakan rakyat, serta dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia atau daerah dalam persaingan global atau pemimpin yang mampu mewujudkan cita-cita nasional.
Pilkada atau Pemilu yang akan datang seyogyanya bermuara pada upaya mewujudkan ‘tertib politik’ maupun tertib sosial. Kini rakyat memerlukan keseimbangan langkah untuk mewujudkan ketertiban dalam berpolitik dan keteraturan dalam bermasyarakat.
Sebaliknya, dengan memetik hikmah puasa, kita dapat menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Jangan sekali-kali melakukan tidakan politik busuk
dalam bentuk penyebaran isu negatif (yang membusuk-busukkan satu pasangan calon) oleh suatu pihak. Bisa jadi yang menyebar isu negatif ataupun kampanye hitam atas pasangan calon tersebut adalah lawan tertentu dalam Pilkada, atau simpatisan lawannya.
Namun ada kalanya juga dari kalangan independen, yang benar-benar tidak memihak pada salah satu calon, tapi semata untuk menyelamatkan daerahnya agar tak jatuh ke tangan politikus yang rekam jejaknya terkenal memang busuk.
Secara akademik, sebenarnya arti dari pembusukan politik (political decay) seperti yang lazim dalam teori ilmu politik, yaitu gejala atau bahkan realitas yang merupakan implikasi dari praktik rumusan Lord Acton: power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely. Jadi, pembusukan politik merupakan kondisi ketika para aktor pada berbagai cabang kekuasaan negara telah menyalahgunakan kekuasaan, baik untuk kepentingan sendiri, kelompok, atau koalisi antarkelompok.
Hal lain dalam praktik politik busuk ini adalah tindakan melakukan ‘hoax’ dan fitnah dalam segala dimensinya, misalnya ulah politisi yang tidak punya kepatutan dan tidak paham etika politik, ber-ideologi abu-abu, dan selalu menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.
Secercah Harapan
Harapan kita semua, di dalam bulan yang magfirah ini, kita harus mampu ‘menahan diri’, sehingga pada gilirannya setelah berpuasa penuh selama satu bulan maka kita seharusnya sudah menjadi orang yang berbeda dan lebih baik dari sebelum berpuasa Ramadhan.
Satu tahun tak terasa, Ramadhan pun telah kembali lagi. Mudah-mudahan yang dilalui dan dilakukan menjadi kebaikan di bulan suci ini. Marhaban ya Ramadhan – Selamat memasuki bulan suci Ramadhan 1439 H, semoga senantiasa amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Amin (*)