Ekspansi Tiongkok Berpotensi Merebut Hak Boemipoetra
Jakarta – Laut Tiongkok Selatan yang kini dikendalikan secara masif oleh Republik Rakyat Tiongkok nampak semakin asertif dan ekspansif. Hal ini disampaikan Founder Brorivai Center, Abdul Rivai Ras selaku narasumber pada Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia, bertempat di Hotel Gren Alia Prapatan, Jumat 29 Maret 2019.
Menurut Rivai, disamping Tiongkok mengembangkan pendekatan “hard power”, negara tirai bambu itu juga menjalankan konsep “soft power” seperti yang dipopulerkan oleh Joseph Nye dari Harvard. Wujud gelar Tiongkok saat ini banyak melancarkan bantuan pembangunan, investasi dan perdagangan, termasuk sentuhan budaya, yang tidak dapat dipisahkan dari upaya strategi rahasia Tiongkok menghadapi tahun 2049.
Perluasan jejak kaki Tiongkok khususnya di Asia Tenggara terus berlangsung dalam membangun pengaruh kepada beberapa negara yang dianggap penting untuk memperkuat posisinya menghadapi Amerika Serikat (AS). Cakupan negara antara lain Myanmar, Malaysia, Indonesia, Filipina, Thailand, Kamboja, dan Singapura.
“Jejak kaki di kawasan merupakan wujud ruang kontestasi dan mimpi Tiongkok untuk menjadi kekuatan yang tidak tertandingi dalam menghadapi AS. Langkah ini melalui konsep soft power dengan cara memberikan bantuan pembangunan dan investasi di luar negaranya,” jelas sang penulis buku Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik itu.
Lanjut Rivai, kekuatan ekonomi Tiongkok yang berkembang – dimulai oleh Deng Xiaoping – banyak menyediakan sarana bagi kepemimpinan Tiongkok saat ini untuk mengejar Inisiatif Belt and Road-nya dengan menggabungkan konsep soft power dan hard power.
Tiongkok telah mendirikan Iembaga konfusius, mengadakan investasi dalam proyek-proyek nasional, memperluas perdagangan, dan memanfaatkan orang Tiongkok di luar negeri untuk membentuk dan menumbuhkan guanxi atau jaringan dengan elit politik masing-masing negara.
Rivai juga mengupas lebih dalam tentang penerapan instrumen soft power itu, dimana dirancang untuk meredakan kekhawatiran yang diciptakan oleh gerakan agresif Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan maupun di tempat lain di kawasan tersebut. Tiongkok ingin meyakinkan negara-negara di kawasan bahwa Tiongkok akan menjadi hegemon yang baik hati.
“Tiongkok sesungguhnya menderita defisit kepercayaan di kawasan, dan penggunaan soft power Tiongkok dinilai belum mampu menghapus kondisi defisit itu karena dampak yang timbul dari peningkatan kekuatan militer tanpa henti di kawasan yang dipersengketakan itu,” pungkasnya.
Hingga kini Tiongkok disinyalir menyiapkan anggaran tak terbatas untuk melancarkan skema kolonialisme berkedok investasi asing ke pelbagai negara, termasuk Indonesia yang berpotensi merebut hak Boemipoetra. Betapa tidak, Tiongkok saat ini punya cadangan devisa 3 triliun dolar AS. Dan 1 triliun di antaranya akan diinvestasikan dalam bentuk aset di luar negeri (Geoff Hiscock, Earth Wars).
Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia pertama itu bertema Kembalikan Hak-Hak Sipil Boemipoetra dan Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Berlangsung sejak 28-31 Maret 2019, dihadiri oleh sejumlah perwakilan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh adat/raja-raja, akademisi, dan politisi se Indonesia. Terdapat empat sesi, khusus dalam sesi ketiga menghadirkan panelis; Prof. Dr. Syarifuddin Tippe, Prof. Dr. Hafid Abbas dan Habib Muchsin Alatas, Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto, dan Dr. Abdul Rivai Ras.(*)