Fenomena Politik Kebencian Memicu Disintegrasi Bangsa
Diskursus politik kebencian (politics of hate) makin menguat menjelang pilpres 2019. Pasalnya adalah terbelahnya persepsi masyarakat tentang kelayakan kepemimpinan nasional dan maraknya tindakan intoleransi dalam berbangsa.
Fenomena politik kebencian saat ini tidak saja menimbulkan permusuhan berlarut (protracted hostility), tetapi juga memicu gejala disintegrasi bangsa. Perilaku politik semacam ini sungguh sangat berbahaya – dimana bila dianalogikan seperti “malware” yang dapat mengancam peradaban dan sistem kehidupan dalam bernegara.
Istilah malware berasal dari singkatan malicious software, merupakan suatu program yang dirancang dengan tujuan untuk merusak dengan menyusup ke sistem komputer. Malware mencakup virus, worm, trojan horse, sebagian besar rootkit, spyware, adware yang tidak jujur, serta software-software lain yang berbahaya bagi sistem kecerdasan teknologi dan penggunanya.
Politik kebencian juga merupakan wujud dari sebuah rancangan propaganda yang direkayasa sedemikian rupa untuk meraup dukungan suara. Namun dalam praktek politik seperti ini bila tidak terkendali dapat melahirkan perpecahan serta membawa dampak politik dan sosial yang berkepanjangan.
Berdasarkan data Amnesty International Indonesia melalui laporan tahunannya 2017, menggambarkan bahwa, perkembangan HAM di 159 negara di dunia menempatkan politik kebencian sebagai isu menonjol di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Laporan Amnesty International yang berjudul The State of The World’s Human Rights, politik kebencian di Indonesia merupakan rangkaian fenomena global berupa lahirnya pemimpin populis kanan yang mengeksploitasi retorika kebencian seperti dalam kasus Donald Trump di Amerika Serikat.
Di Indonesia sendiri politik kebencian tersebut mengeksploitasi isu politik identitas, sentimen moralitas agama dan nasionalisme sempit oleh aktor negara dan non-negara yang mengajak pengikut mereka dan masyarakat luas untuk membenci mereka yang dianggap berbeda, sehingga dapat melemahkan ketahanan nasional.
Menyambut pesta demokrasi tahun depan, politik kebencian diprediksi ritmenya akan semakin meningkat dan berpotensi untuk dikapitalisasi secara negatif oleh kelompok kepentingan tertentu, menyusul persaingan politik dengan penggunaan jargon dan tagar “2019 Ganti Presiden vs Tetap Presiden dua periode”.
Untuk itu, sebagai sesama anak bangsa – mari jauhkan politik kebencian, jaga toleransi, kedamaian, kehormatan bangsa, dan senantiasa mengedepankan etika-moral serta nasionalisme demi kelangsungan NKRI.