OPINI :Pragmatisme Partai Politik Semakin Kuat
Dalam sistem politik sekuler yang dianut elit negeri saat ini, kepentingan merupakan roh penggerak utama. Tak ada kawan abadi, tak ada musuh abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.
Dalam dua pekan terakhir, masyarakat Indonesia dan juga Sulsel disibukkan dengan pembicaraan Pilkada serentak 2018. Topik pembicaraan mengerucut pada siapa calon yang kebagian tiket dan siapa yang tidak kebagian tempat duduk.
Aksi saling berebut atau meminjam istilah lokal Makassar yakni “membegal” partai politik pendukung menjadi hal lumrah dalam tahun Pilkada ini. Di Sulsel saja misalnya, beberapa partai politik berpindah-pindah dukungan antara dua hingga empat kali. Hanya secuil partai politik yang kukuh untuk tidak mengalihkan dukungan.
Alasan untuk meninggalkan seorang calon pun seragam, yakni tidak adanya kesesuaian visi-misi antara partai politik (parpol) dengan pasangan calon (paslon). Meski begitu, banyak masyarakat awam yang lebih percaya desas-desus bahwa paslon B menawarkan mahar lebih besar ketimbang paslon A.
Berbicara tentang partai
politik (political party) berarti bicara tentang pembagian kekuasaan. Dari bahasa asalnya, Bahasa Inggris, party berakar dari kata part yang berarti bagian/pembagian. Dengan kata lain, kekuasaan rakyat terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok parpol sebagai perwakilan rakyat.
Hanya saja dalam implementasinya, parpol di Indonesia mulai tampak sejalan dengan defenisi Rodee bahwa lebih merupakan “sekumpulan orang-orang yang memiliki ideologi yang sama”. Sehingga sekumpulan ini cenderung untuk menegakkan kepentingan golongannya terlebih dahulu ketimbang kepentingan orang-orang yang diwakili, yakni rakyat.
Meminjam bahasa Harold Lasswell, “politics is who gets what, when and how.” Siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Dalam defenisi ini, kepentingan kekuasaan menjadi sangat dominan. Pakar mengistilahkan fenomena ini sebagai pragmatisme. Yakni sebuah paham yang hanya melihat sisi baiknya saja, dengan menghalalkan semua strategi dan metode.
Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, selama sesuatu itu membawa manfaat praktis.Kriteria kebenaran diukur dengan pertanyaan, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kelompoknya atau tidak?
Dalam politik pragmatisme, kesamaan visi-misi diukur dengan kekuatan finansial dan atau kuota jabatan dalam kabinet.Alhasil paslon-paslon yang tidak mampu menyediakan finansial lebih ataupun tak mau membagi kue-kue kekuasaan dipastikan bakal ketinggalan kereta.
Dekatnya Pilkada 2018 dengan tahun politik Pilpres dan Pileg 2019 diyakini sebagai penyebab utama meningkatnya azas pragmatisme di tubuh parpol. Tahun 2018 merupakan ajang yang tepat untuk mencari selisih keuntungan sebagai modal mengamankan kepentingan 2019.
Parpol tidak lagi konsisten dan mempertimbangkan faktor ideal seperti hasil riset ilmiah yang utuh, rekam jejak, dan kehendak umum rakyat. Situasi seperti ini sudah pernah terjadi dan sangat marak di masa Orde Baru.
Jika partai telah pragmatis, dapat dipastikan partai-partai penegak demokrasi akan berjalan sempoyongan tanpa acuan. Berjalan secara pragmatis akan membuat parpol menempuh cara yang praktis dengan mengesampingkan idealisme dan rasionalisme demi mencapai popularitas dan suara sebesar-besarnya.
Penulis: Dr Abdul Rivai Ras
Doktor Ilmu Politik yang berpengalaman dalam riset dan praktik aktualisasi proses politik di arena Pilkada.