Bro Rivai Ingin Sejahterahkan Petani Garam Sulsel
Inilah negeri yang lebih dari setengah abad merdeka tapi masih mengimpor garam. Dan ternyata bukan hanya garam yang diimpor, sampai sekarang beras dan daging pun diimpor.
Padahal sekarang produksi garam kita untuk rumah tangga mengalami surplus 300-500 ribu ton. Jadi tidak ada alasan untuk terus-menerus lakukan impor, baik garam untuk rumah tangga maupun industri.
Potensi Indonesia untuk membuka ladang garam adalah seluas 28.000 hektar, yang jika digarap dengan teknologi geomembran dapat menghasilkan 100 ton per hektar setiap musim. Ini semua sebenarnya sudah bisa menutup kebutuhan semua jenis garam dalam negeri.
Sangat disayangkan potensi ini tidak dilirik sama sekali ,Indonesia saat ini mengimpor garam terbesar dari Australia (733.000 ton senilai 34,2 juta US dolar), India (189.000 ton senilai 7,89 juta US dolar), dan Jerman (177.000 ton senilai 445 ribu US dolar). Selain itu dalam jumlah kecil garam juga diimpor dari Selandia Baru (816 ton senilai 325 ribu US dolar) dan Singapura (663,9 ton senilai 142 ribu US dolar).Volume dan nilai impor garam Indonesia setiap tahun adalah 2.579 ton atau senilai Rp 600 miliar lebih setahun.
Khusus untuk produksi garam sulawesi selatan.khusus di tiga daerah yang menjadi sentra yakni jeneponto,takalar dan pangkep. Yang jadi masalah produksi garam petani masih belum baik secara kualitas, sehingga berdampak pada nilai jual yang rendah. Akibatnya, para petani garam belum bisa menikmati hasilnya. Kualitas garam dari petani di tiga daerah itu juga tidak sebaik produk impor, seperti kadar air yang lebih dari 5%, kadar NaCl di bawah 95%, sehingga membuat garam lokal kalah bersaing di pasaran dalam negeri sendiri. Belum lagi teknologi pembuatan garam petani menggunakan alat secara tradisional sehingga rata-rata petani menghasilkan garam dengan kualitas dan produktivitas yang rendah (kadar NaCl 75-80%).