Membangun Budaya Maritim, Jalan Menuju Kejayaan Indonesia
Dalam orasi kebudayaannya di Dewan Kesenian Jakarta, Hilmar Farid (2014) menyebutkan fakta-fakta yang tak terbantahkan tentang eksistensi kita sebagai negara maritim. Luas wilayah laut di Indonesia mencapai 3,2 juta meter persegi, sedangkan luas daratan kita hanya 1,9 juta meter persegi.
Di antara lautan yang luas itu, 17.000 pulau yang tanahnya subur dan kaya hasil alam berserakan. Garis panjang pantai Indonesia 95.000 kilometer, negara kedua dengan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada.
Walaupun Indonesia pada dasarnya merupakan negara maritim, tetapi semenjak Majapahit runtuh empat abad lalu kita lebih banyak membangun peradaban di darat. Seolah-olah kita lupa bahwa Sriwijaya dan Majapahit meraih kejayaannya karena laut, bukan karena darat.
Kita harus paham bahwa Indonesia ini, sebuah archipelagic state, adalah laut, yang kebetulan ada benjolan-benjolan tanah di dalam perairannya yang menjadikannya gugusan pulau-pulau. Hasil dari pelacakan Andrian Lapian (2009), kata archipelago memiliki akar kata dari Yunani, yakni arch (besar, utama) dan pelagos (laut). Dengan demikian archipelagic state seharusnya diartikan sebagai “negara laut utama” atau laut yang ditaburi pulau-pulau.
Kita biasanya terbalik, menganggap Indonesia ini adalah daratan yang kebetulan ada perairan-perairan yang menyelengi. Paradigma yang terbalik ini membuat kita menganggap bahwa perairan-perairan Indonesia sebagai pemisah antara pulau dan suku di Indonesia, bukan merupakan pemersatu.
Paradigma yang salah itu membuat kita kurang berhasil membangun Nusantara modern yang kita idealkan karena sistem-sistem dan tata sosial, ekonomi, dan politik kita saat ini hanya sekedar jiplakan dari hasil budaya kontinental, terutama oksidental, sehingga hasilnya karut-marut di sana-sini.
Ibarat kita ini ikan, tetapi dididik dan disuruh untuk berjalan dan berlari. Sampai kapan pun akan kesusahan, bahkan mustahil.
Salah satu, hanya salah satu, cermin betapa kita melupakan lautan bisa dilihat dari penilaian ekonomi. Sektor maritim Indonesia memiliki potensi untuk menyumbang Rp 3.000 trilyun per tahun, walaupun saat ini yang terealisasi masih sekitar Rp 290 trilyun (Sharif Sutardjo, 2014).
Sektor maritim ini, apabila digarap dengan baik berpotensi membuka 40 juta lapangan kerja di Indonesia sehingga tidak perlu lagi kita mengirim TKI, menjadi jongos di luar negeri (Rochmin Dahuri, 2014).
Tetapi selama ini kita belum mampu menerjemahkan potensi itu menjadi realita. Kita masih memfokuskan kegiatan-kegiatan ekonomi kita saat ini di darat melalui pertanian, peternakan, perkebunan dan kehutanan, pertambangan, serta industry — yang hasilnya kerusakan lingkungan dimana-mana.
Kita meminggirkan lautan selama ini disebabkan antara lain karena kurangnya alokasi anggaran untuk mengembangkan kemaritiman atau kurang banyaknya orang yang memiliki kualifikasi dan ketrampilan memajukan sektor maritim.
Namun masalah yang lebih mendasar daripada itu adalah tentang kurangnya kesadaran kolektif kita bahwa kita adalah manusia maritim dan oleh karenanya kita selayaknya menjadikan samudra, laut, selat, dan teluk sebagai “ibu” kita.
Konsekuensi sebagai manusia maritim
Konsekuensi kita sebagai manusia maritim adalah perlunya kita memahami dasar-dasar ontologis hingga kosmologis tentang eksistensi kita, yang kemudian menjadi bahan dasar kita dalam menata cara hidup dan kebudayaan yang berbasis pada dunia laut dan pesisir.
“Secara politik, masyarakat maritim mempercayakan kepemimpinan pada orang-orang yang benar-benar kompeten dan memiliki kepedulian kepada survival dan kesejahteraan mereka. Bukan kepada orang-orang yang hanya pintar bersolek menjadi pesohor atau memiliki tumpukan kapital”
Manusia-manusia yang hidup berkembang dalam dimensi spasial perairan secara alami akan menjadi kelompok masyarakat hibrid, yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif. Tatanan sosial, ekonomi, dan politik sebagai produk budaya maritim tentunya akan memiliki kekhasan tersendiri dan berbeda dengan produk budaya yang lahir di atas konteks alam yang lain (Radhar Dahana, 2011).
Secara adab, masih menurut Radhar Dahana (2011), budaya maritim lebih toleran terhadap perbedaan-perbedaan karena interaksinya yang lentur dan intens antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.
Hal ini tidak seperti budaya daratan yang dipenuhi konflik dan peperangan berkat kondisi geografis dan geologis yang memaksa mereka untuk melawan atau menguasai manusia, binatang, atau lingkungan di sekitar mereka.
Sebagaimana yang kita dapat ikuti di Timur Tengah baik pada masa silam atau saat ini yang terus saja dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa kekerasan dan peperangan.
Secara ekonomi, budaya maritim sangat mengedepankan asas kekeluargaan dalam aktivitas perekonomian mereka. Sebagaimana cerita Charles Beraf (2014) tentang masyarakat nelayan di Lamalera, Nusa Tenggara Timur.
Tradisi tena laja (penangkapan ikan-ikan besar) masih terus dihidupi oleh masyarakat hingga saat ini. Tradisi ini tidak dilangsungkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumtif belaka, namun juga menjadi aktivitas kultural masyarakat.
Melalui tradisi ini mereka dapat menjaga kohesivitas antar anggota kelompok. Hasil tangkapan yang didapat dari aktivitas ini tidak dinikmati oleh penangkap saja, namun dibagikan kepada siapapun di Lamalera terutama para janda dan anak yatim. Ini sebagai tanda kesatuan dan persaudaraan.
Secara politik, masyarakat maritim mempercayakan kepemimpinan pada orang-orang yang benar-benar kompeten dan memiliki kepedulian kepada survival dan kesejahteraan mereka. Bukan kepada orang-orang yang hanya pintar bersolek menjadi pesohor atau memiliki tumpukan kapital.
Kehidupan di laut penuh bahaya, pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang telah ditempa sejarah perjuangan dan ujian panjang dan terbukti mumpuni. Mobilitas vertikal cepat tanpa perjuangan mustahil terjadi. Ini adalah perkara hidup dan mati. Keselamatan mereka, para rakyat, taruhannya.
“Dalam sistem perguruan maritim, guru adalah teladan dalam acuan dan perilaku—tidak sebatas menjadi acuan dalam intelektual, moral, dan spiritual saja. Seorang guru tidak memiliki nilai apabila tidak mampu mewujudkan keilmuannya dalam tataran perilaku”
Dalam masyarakat maritim, interaksi yang terjalin antara mereka dengan pemimpin yang ada di daratan bukanlah hubungan seperti Adipati dengan abdi di Tuban yang dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik.
Hubungan yang berlangsung adalah hubungan yang setara. Seperti yang terjadi di masyarakat Bajau di Indonesia timur yang berdagang dengan sultan, saling mempertukarkan barang kebutuhan. Masyarakat mendapat kain dari sultan, dan sebagai bayaran mereka menukarnya dengan tripang, ikan, dan sebagainya (Andrian Lapian, 2009).
Dalam bidang pengajaran, Radhar Dahana (2011) mengatakan bahwa sistem pendidikan masyarakat maritim berbeda dengan sistem darat yang kental dengan jarak struktural binarik seperti guru-murid.
Dalam sistem perguruan maritim, guru adalah teladan dalam acuan dan perilaku—tidak sebatas menjadi acuan dalam intelektual, moral, dan spiritual saja. Seorang guru tidak memiliki nilai apabila tidak mampu mewujudkan keilmuannya dalam tataran perilaku.
Dalam proses transmisi nilai tersebut, pengajaran tidak dapat dilangsungkan secara searah karena mau tidak mau guru juga harus menyerap pelajaran dari keseharian siswa-siswa dalam menghadapi dunia/realitas/problematika hidup. Kesetaraan dan hubungan timbal balik yang berimbang adalah proses yang berlangsung dalam pengajaran yang lahir dari adab bahari.
“Semasa jaya Gajah Mada, arus bergerak dari selatan ke utara; segala-galanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-cita dan citranya—bergerak dari Nusantara di selatan ke ‘Atas Angin’ di utara, sebab Nusantara bukan saja kekuatan darat tetapi juga kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi…” Demikian kata Wiranggaleng dalam sebuah epos pasca kejayaan Nusantara karya Pram, Arus Balik.
Sudah saatnya kita menelusuri kembali jejak-jejak sejarah dan kearifan budaya maritim kita, bukan sekedar menjadi bahan romantisme kita pada masa lalu. Namun sebagai ikhtiar kita menemukan dasar yang lebih kokoh untuk membangun tatanan sosial, ekonomi, dan politik Indonesia modern yang sesuai dengan budaya kita sebagai bangsa maritim.